Tuesday, March 21, 2006

Larangan Erotisme Di Indonesia

SUARA PEMBARUAN DAILY 20 March 2006
--------------------------------------------------------------------------------

Seniman Dunia Minta RUU APP Ditinjau Ulang

JAKARTA - Ratusan seniman dan sarjana seni pentas dunia meminta agar Rancangan Undang-Undang tentang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP) ditinjau ulang. Mereka meminta agar pemerintah dan kalangan elite politik Indonesia menyesuaikan RUU itu dengan kebutuhan seni dan budaya Indonesia.

Pernyataan para seniman dan sarjana seni pentas dunia itu terangkum dalam aksi pengumpulan tanda tangan meminta agar RUU APP ditinjau ulang. Rencananya, surat itu akan dikirimkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Kami, sarjana dan seniman dari dalam dan luar negeri menyampaikan keprihatinan atas RUU APP," ujar Aviva Kartiningsih Cohen, salah satu penggagas aksi pengumpulan tanda tangan itu, kepada Pembaruan melalui surat elektronik di Jakarta, Sabtu (18/3) siang.

Beberapa nama seniman dunia yang ikut menandatangani pernyataan sikap itu antara lain, musisi Gary McFarlane (Kanada), penata tari Zulkifli Mohmad (Kuala Lumpur), Ibrahim Hamid (Orkestra Melayu Singapura), Wayne Vitale (Pimpinan Gamelan Sekar Jaya, Amerika Serikat), Cindy Benton-Groner (Direktur Gamelan, College of William and Mary, AS), Jon Keliehor (Komponis dan Ketua Gamelan Naga Mas, Glasgow, Skotlandia), dan Jan van der Putten (Dosen Sastra Melayu, Singapura).

Dari Indonesia, nama-nama seniman yang ikut menandatangani surat itu antara lain Ikranagara (seniman), Rahayu Supanggah (STSI Surakarta), Nirwan Dewanto (sastrawan), Nor Pud Binarto (budayawan dan aktivis kemanusiaan), Andi Suandi (pelukis abstrak), Cok Sawitri (penyair), dan I Wayan Gde Yudane (komponis).

Menurut Aviva, seniman dan sarjana seni dunia sangat peduli dengan budaya dan seni di Indonesia. Menurut mereka, seni Indonesia sudah berkembang di luar negeri. "Jika akar seni dan budaya Indonesia dirusak, semua yang telah berkembang di luar negeri itu akan rusak pula. Sementara di sisi lain, dalam era globalisasi ini dampak RUU APP akan dirasakan pula di luar Indonesia," kata dia.

Seni pentas Indonesia, terutama seni gamelan, wayang, serta tari Jawa dan Bali, telah menjadi sumber kreativitas seniman dan sarjana seni dunia. Malah, seni wayang sudah diakui resmi sebagai Warisan Budaya Dunia Nonbendawi dari UNESCO.


Mengurangi Kreativitas

Aviva menambahkan, RUU APP akan melarang orang untuk menyiarkan, memperdengarkan, mempertontonkan atau menempelkan tulisan, suara atau rekaman suara, film atau yang dapat disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto dan/atau lukisan yang mengeksploitasi daya tarik tubuh atau bagian-bagian tubuh orang yang menari erotis atau bergoyang erotis. Aturan itu bisa ditafsirkan sebagai larangan terhadap seni tari daerah, seperti tayuban, joget, ronggeng, jaipongan, dan gandrung Banyuwangi.

Selain itu, sastra klasik ala Serat Centhini dan ceritera pokok pewayangan tidak bisa tampil lagi. Salah satu contoh adalah lakon Murwakala yang menggambarkan kelahiran Batara Kala. Pada lakon itu digambarkan Batara Guru terpesona melihat seorang perempuan sehingga kamanya (nafsu) timbul. Lakon ini paling penting bagi para dalang, tetapi bisa dilarang karena bisa dianggap erotis. Jadi, batas antara seni dan erotisme (langen dalam bahasa Jawa) kerap kali tidak jelas. (O-1)



--------------------------------------------------------------------------------
Last modified: 20/3/06

No comments: