Monday, March 28, 2005

Ise@Mayagallery.bangsar.kl

Natural Man Naturally
Zulkifli Mohamad

Djaelantik, the Prince of Bali defined that aesthetics is related to two things: language and arts object. Language is used to describe, explain, and discuss aesthetics. On the other hand, without art object, the discussion about aesthetics is useless. For us is to enjoy the arts and to discuss the aesthetics.

What I am about to tell you here is just a little story about the Natural Man. Though Sir Alfred Russell Wallace, the natural scientist who did years of research on proboscis monkeys in Sarawak Borneo in the late 1800 had came up with the book called “Natural Man” in the early 1900, I only read the book after I discovered my own Natural Man in 1993. It only took me one visit to the Iban longhouse in Sarawak jungle, before I was adopted by the Iban headman of the village to see how he spends his days and nights - being the headman of the village, father to four children, farmer in the morning when he leaves the house at 5 o’clock, woodcarver at 10 o’clock when he is back from the farm while sipping his coffee, fisherman/ hunter after lunch as he leaves again to get some fish at the river or some animal in the nearby jungle, musician-dancer after dinner and drink as he starts playing gong and canang and dance his ngajat, as headman as he delivers his speech to children of the village including his own. Wallace’s Natural Man is about how the man lived with his environment – trees, rivers, hills and mountains, clouds, earth and animals. Ronald Tamplin (1997) might say that Arts is everywhere; all around, but is the Natural Man sees the same way as Tamplin. Perhaps it is just a pure and simple artful living all round for the natural man.

Wyszomirski (2003) in “Creative Industries and Cultural Professions in the 21st Century” identifies four factors that are generally acknowledged to be shaping not only the creative sector, but the entire economy and society. Rapid technological advances, globalization, shifts in general population demographics, and a generational turnover in key professions and leadership have all dramatically change the world we live in during the past decade. Indeed, the interaction of global trends and national or local contexts may lead to a distinct constellation of challenges and opportunities for the cultural sector in any given geopolitical region. The world system is shifting due to the force of globalization; local adaptation through global interculturalism, or “glocal” – a process by which the influences and impact of global forces are filtered locally – may be the preferred response. Second, the shift in the arts system is taking place as boundaries blur among the fine, commercial, applied, unincorporated and heritage arts; the sector’s scope is broadening. Third, the shift in the cultural policy system is occurring as a result of growing awareness that national and international policy constraints, incentives and assistance strongly affect the administration of arts organization; thus the cultural sector’s sphere of activity is expanding, to include national and international policy as well as organizations. Forth, changing in economic assumptions and resources are causing a shift in the arts funding system; new funding models reflect changes in the mix of public/ private and earned/ contributed income.

Has art and creation changed in this 21st century? Djelantik might answer that creation is the process to create an art from “nothing” to something, but he also argues that a process of making an art object called creation if the artist creates something new. It is about finding a ‘new art’, where it is not only a new form of an art; it is more than that. To create a new art, the artist has to change one or more aesthetics principals in that particular art or its style and that new creation is called creativity. The change in the process of making the art creation is only natural to a man living it up to his environment.

Zulkifli Mohamad has completed his phd. thesis on political economy of arts and culture at ATMA (Malay World and Civilisation) UKM, Bangi He is an arts practicioner and founder of ngos, Arts Exchange in Asia (AXiA) and theatre production company, Svarnabhumi Malaysia. He has experience working UiTM, UNIMAS, SEAMEO-SPAFA, Bangkok, ASEAN Secretariat Jakarta and Special Advisor to Minister of Tourism, Royal Government of Cambodia. He has received ASIA Fellow Award in 2002 for dance theatre and management research in Indonesia and Rockefellar Southeast Asia in 2003 for his research on Islam and Performing Arts. Email: zubin_mohamad@yahoo.com. www.svarnabhumi.blogspot.com

Sutralah Ramli by Zubin Mohamad

Ramli Ibrahim, sebuah nama yang tidak asing lagi di dalam persada seni persembahan tanah air. Walaupun kebanyakan hasil seninya merangkumi teater tari klasik India, Ramli pernah membuat beberapa percubaan di dalam teater tari yang berasaskan rasa Melayu dan nusantara seperti Gerhana, Pesta, Cita Rasa serta Pandanglah Lihatlah di awal 1980an dan 1990an. Mungkin sambutan yang hambar di kalangan para pengkritik teater serta peminat-peminat Ramli dan Sutra membuatkan beliau patah semangat untuk berekspresi dalam seni nuansa Melayu.

Beliau sering dikecam oleh masyarakat dan pengkritik Melayu sebagai “Tidak Islam” kerana mendewa-dewakan tarian- tarian klasik India yang sememangnya banyak berlegar dan berunsurkan ketuhanan agama Hindu. Tapi Ramli tetap dengan pendiriannya yang beliau tidak menganuti ajaran ketuhanan Hindu, sebaliknya mengagumi ketinggian seni tari dan teaternya. Beliau pernah mengatakan “Saya berada di dalam satu kelompok seni yang agak sulit. Masyarakat India mahukan seorang seniman tari India yang lahir dari kalangan kaum India, mungkin kerana inginkan seni tradisinya kekal sebagai identiti budayanya. Kaum Melayu pula inginkan saya mencipta tarian-tarian yang berinspirasikan budaya Melayu. Mungkin saya telah memusnahkan impian mereka”

Lelaki Melayu yang telah mencecah umur lima puluhan ini terus melahirkan karya-karya seni tari India, malah Ramli dan Sutra, kumpulan seninya, baru saja mempersembahkan karya terbarunya “Spellbound”, sebuah persembahan tarian klasik India “Oddisi” di Istana Budaya pada 16-20 haribulan Februari 2005 dengan jayanya. Sebelum itu beliau telah mempersembahkan karya ini di Tanjung Rhu, Langkawi. Karya teater tari ini akan dipersembahkan di beberapa kota di Malaysia, Pulau Pinang (25 Februari), Ipoh (26 Februari), Seremban (2 Mac), Johor Bharu (4 Mac) serta Singapura pada 5 Mac 2005.

“Ini adalah kali pertama saya dan Sutra diberikan peluang yang sewajarnya di Istana Budaya” ujar Ramli Ibrahim. Sebelum ini Ramli Ibrahim telah terpilih sebagai salah seorang dari sepuluh Koreografer Kontemporari Malaysia di dalam persembahan “Emas Sepuluh” pada tahun 2004 dan menampilkan Sutra Dance Company dalam karyanya. Ramli juga pernah menerima ‘Lifetime Achievement Award 2003’ dari Kakiseni-Boh Cameronian Arts Award. Seniman yang baru saja menerima anugerah ‘Johan Setia Mahkota’ ini mendapat latihan di dalam tarian Ballet klasik, tari moden dan tarian India klasik (Bharata Natyam dan Oddisi). Beliau pernah menari dengan kumpulan Sydney Dance Company (1977-82) dan menjelajah dunia. Beliau juga banyak belajar dari Dr.Chandrabhanu (Zamin Haroon), guru tarian klasik India yang menetap di Australia. Ramli berguru dalam tarian Bharata Natyam dari Guru Padmashri Adyar K.Lashman dan tarian Odissi dari Guru Deba Prasad Das di India.

Persembahan “Spellbound” atau terjemahannya ‘Terpukau’ adalah sebuah produksi hasil kolaborasi Ramli dan Sutra dengan Guru Durga Charan Rambir dari Orissa, India. Musik untuk persembahan ini dibekalkan oleh para pemusik khas dari Odissi, India – Sukanta (vokal), Guru Dhaneswar (mardal), Abhiram (seruling), Niranjan (viola) serta Swapneswar (sitar). Guru Durga Charan sememangnya terkenal di Orissa, tempat kelahiran tarian Odissi, juga di New Delhi. Beliau dianggap sebagai penyambung kepada Guru Deba Prasad Das, yang juga menjadi guru kepada Ramli. Sebelum ini Guru Durga pernah berkolaborasi dengan Ramli dan Sutra pada tahun 2003. Ramli pernah mementaskan produksi “Spellbound” di tahun 1990an, tetapi ternyata produksi “Spellbound” kolaborasi ini jauh lebih menyengat. Ramli juga pernah berkolaborasi dengan seniman-seniman dari beberapa negara Asia pada tahun 2003 dalam produksi “Sidhartha” karya Herman Hesse. Malangnya produksi tersebut begitu hambar dan tidak bermaya serta mati sebelum waktunya.

“Spellbound” dibahagikan kepada enam koreografi – Mangala Caranam, Pallavi, Ashta Sambhu, sebelum interval, kemudiannya disambung dengan Krisna Tandava, Ashta Nayika dan Aditya Archana. Mangala Caranam adalah sebuah tari yang didedikasikan kepada Dewi Saraswati, dewi kepada mitos, nyanyian, seni serta ilmu. Pallavi adalah sebuah tari yang asli serta khusus dalam tarian Odissi yang bermaksud ‘elaborasi’ yang menampilkan sifat ketuhanan. Ashta Sambhu pula menceritakan tentang Dewa Siva. Manakala Krishna Tandava menampilkan keabadian Dewa Khrisna, Ashta Nayika dan Aditya Archana masing-masing bercerita tentang heroin-heroin wanita di dalam tarian Odissi, termasuk tentang kisah cinta yang erotis, Sringara, dan Aditya adalah nama lain untuk Suriya atau Matahari, titik kepada sesebuah kreativiti, salah satu dewi pujaan.

Apa yang menarik didalam karya “Spellbound” di Istana Budaya adalah produksinya secara keseluruhan. Ia telah menampilkan rekabentuk serta tatarias yang luarbiasa. Rekabentuk pentasnya yang direka oleh Sivarajah Natarajan, merangkumi semua aspek reka set, reka lampu, fotografi serta arahan teknikal. Sivarajah menggunakan teknik penggambaran fotografi serta vidoegrafi berlatarbelakangkan suara Ramli Ibrahim sendiri, seolah-olah kita sedang menonton National Geographic, di mana kita di bawa mengunjungi kuil-kuil peninggalan yang berkurun-kurun lamanya di India. Fotografi dan vidoegrafi yang dipancarkan ke layar putih di bahagian depan pentas kemudiannya bertindih dengan set sebuah pintu gerbang yang penuh dengan ukiran-ukiran lama. Seterusnya, tampillah para penari yang disaluti tatarias serta busana yang penuh gemilang warna-warnanya. Sivarajah menampilkan rekaan pintu gerbang yang berbeza-beza untuk setiap sessi tarian. Walaupun beliau telah dapat menggunakan semua teknik-teknik pementasan yang ada di pentas Panggung Sari Istana Budaya, lakaran lampunya masih berada di tahap sederhana.

Di sini juga dapat kita saksikan sesungguhnya Ramli telah berjaya menampil penari-penari klasik India yang mempesonakan seperti January Low. January telah memenangi ‘Anugerah Persembahan Solo Terbaik 2003’ dari Kakiseni-Boh Cameronian. Di dalam persembahan kali ini, kita terus asyik menonton lenggang lenggoknya serta kemasan-kemasan tariannya yang begitu rapi, tepat dan padat dengan rasa dan emosinya. Malangnya January tidak banyak ditampilkan secara solo. Antara penari-penari lain yang mantap termasuklah Revathi Tamilselvan, Vidya Pushpanatan serta penari lelaki Parveen Nair yang begitu berkaliber. Parven begitu berkeyakinan menari di samping Ramli, dan sering mengambil tempat yang utama didalam menampilkan tari dan rasanya. Malah kehadiran Parveen yang baru berusia dua puluhan, lebih dirasakan daripada Ramli, yang kian meningkat usianya. Walaubagaimanpun, Parven, yang tidak berapa tinggi ukurannya, mempunyai kelemahannya yang tidah dapat dielakkan. Mungkin suatu masa nanti beliau mampu menutup kelemahannya dengan kelincahan dan ketangkasannya di pentas. Sebelum ini Ramli telah banyak melahirkan penari-penari India klasik yang berjaya seperti Guna, Marvin, Gheeta dan lain-lain lagi. Apa yang penting, Ramli terus bersemarak dalam membangkitkan Sutranya.