Friday, May 01, 2009

Lacey's Story of Pasir Mas and Sultan Ibrahim School(www.travelpod.com/)

Dad chatted with the owners in Malay, recalling the days when he was teaching in Pasir Mas thirty-one years ago. We ended the night at the only place that sells beer in all of KB, sipping on the famous Tiger Beer and reflecting on everything that had happened both to us and to Dad's sleepy town. But that was only the beginning of the journey back in time. The next day Othman Ismail, a friend and collegue of Dad's, picked us up with his son and grandson. As they remembered the days when they had known each other and catching up on the last thirty years, he showed us around KB, everything that had changed. I don't think people realize just how progressive Malaysia is, what a dynamic time the past couple of decades have been for it. 


And then we went to Pasir Mas. The little village on the edge of the jungle that I had envisioned as Dad would tell us stories growing up, is now a thriving little city. The road has been widened and shops have sprung up everywhere while traffic fills the streets regulated by more than one traffic light. At Othman's house, we met his wife, three daughters, and grandchildren. It was almost overwhelming, but at the same time so interesting and so amazing that we were actually there so many years after Dad had left. When we went to Ramlah's house and met her son Aidi, her sister Rohani, and her neice Eda. Dad had lived next door to Ramlah and her husband, Osnan, and they had really been his family while in Pasir Mas. The reunion was very emotional, especially for the two of them, but even I, who had never met this small and regal women with such a kind face, felt a connection. Sitting in the family room listening to everyone talking in Malay, figuring out what was being said merely by the emotions in the voices, I felt like I had finally come to the Malaysia that my Dad had known. And then I began to carve my own little Malaysian experience that was all my own when I started talking to Eda who is only four years older than me. 


We immediately became friends and she invited me to a birthday party that night. It was great! We met up with everyone else at this restaurant where Nina, the birthday girl, had a private room. Because Muslims don't drink alcohol, we sipped lychee juice and everyone sang karoke. And then the dance music came on. Everyone was up, with the lights dimmed, dancing around the room to the Black Eyed Peas and Kelly Clarkson. It was another one of those surreal moments where I was dancing to the same music I had danced to this summer on the Outer Banks, but in a completely different atmosphere and place. I must say, my dancing was quite a hit, and everyone kept shouting for me to dance with them. So "Don't Funk with my Heart" was punctuated with cries of "Lucy!". No one can ever get my name right, even in Australia, so for that night was the dancing American named Lucy, making my impression in Kota Bahru. Afterwards, everyone took lots of pictures with me and I felt somewhat like a movie star...maybe teaching isn't for me afterall. The next day, tired from the night before, but ready for whatever was in store, Dad and I drove with Aidi into Pasir Mas to see some more of the family. We went around visiting Eda and meeting her father, Fauzi, at their car dealership, then went out to lunch at a stall nearby. The rest of the day we spent first with Ramlah and two of Aidi's kids, and then with an old friend named Din who still had that glint of mischief in his eye even though he must be in his fifties. 


We went back to Dad's old school, which was really just so cool! I've heard about this place my entire life, seen the pictures, and now I've been there. All the kids were excited to see these strange white people, and giddily posed for a picture. The headmistress talked with us and showed us all of the advancements the school had made. It was quite an impressive place. Dad's house has been torn down so unfortunately we were unable to see it, but we did go out to Ramlah's mother's kampog. What was once completely jungle and a little dirt road is now a paved road lined with a couple more houses and a few shops. The spunky old woman who met us at the door looked exactly like Ramlah and though limping due to knee problems, still had a girlish quality. She talked to me in Malay and I've now picked up enough words so that I could get some of her meaning. After such a hectic day, it was relaxing to sit in her cute, airy house listening to the fans whirring. But the peace was soon interrupted by the laughter and chatter of her grandchildren brought by Rohani and Ramlah for afternoon juice and fried bananas. Mira, Aidi's oldest daughter, even got up the courage to read to me in English out of her school book. I cannot stress enough how amazing it was to be there with these people, getting to know them as my dad had, listening to him remembering his Malay and watching him getting to know his friends and his former home as they are now. This has been a truly unique, touching, and fascinating experience. This is what this journey is all about, connecting the past to the present and building my own experiences and memories from what I discover. With two more days ahead of us here, it's exhausting, but also very exciting to think about what lies ahead. And at the end of the day, there's always time for a tiger...


Nota Nogho Langkasuka Di Kota Salor

Aku dalam rangka menulis sebuah kertas kerja yang dibuat dalam bentuk catatan perjalanan tentang Manora aka Menora aka Nora aka Nogho, sebelum aku terpanggil untuk menghadiri seminar Lembah Bujang di Sungai Petani dan seterusnya melihat penggalian2 Lembah Bujang dan muziumnya, seterusnya terus ke Muzium Alor Star  untuk mencari bahan2 rujukan.

Nota Nora Langkasuka: Sebuah Catatan Perjalanan Sejarah Tari

Saya ingin bercerita tentang sebuah bentuk tari atau lebih jelasnya sebuah bentuk teater tari yang sangat unik, bukan hanya dari segi bentuknya, tetapi juga sejarah dan perjuangan serta falsafahnya. Bentuk tari yang saya maksudkan ialah Manora atau Menora. Di Kelantan ianya disebut ‘Nogho atau dalam bahasa surat, atau Bahasa Kebangsaan, Malaysia, dipanggil Nora. Pertama kali menonton Nogho ketaka aku masih kecik, mungkin dalam umur 6 tahun, sebelum aku belajar zapin. Aku dibawa oleh Ayah Saudara yang aku panggil "Ayah" kerana menganggap dia sebagai ayah, yang selalu mendengar, menunjuk ajar, mengajar dan membela kami didepan ayah sendiri. Dia anak seorang pawang terkenal yang menjalankan Main Peteri dan Bageh di sekitar Kampung Gertak Lembu dan Teluk Kandis, yang kita sebut sebagai Alik Ilir(Hilir), juga merujuk kepada arah sungai, dari kami yang berada di Kedai Salor, pertengahan antara Alik Ilir dan Alir Ulu. Ayah Saudaraku, Che Awang Jusoh, adalah seorang tukang rumah serta pandai membuat perahu, dia juga pandai membuat gendang, gendang panjang dan gendang marwah untuk berzapin.  Satu malam dia membawa aku menonton Manora di Gertak Lembu, di bawah lembah berdekatan dengan Kota Salor yang sudah hilang dari penglihatan. Tapi pada ketika itu masih ada sebuah Wat Siam disitu (kemudiannya dipindahkan ke Kampung Pendek) tidak jauh dari Teluk Kandis. Sebenarnya tidak banyak yang aku ingat, cuma Ayah Awang memperingati akau untuk tidak melihat terus ke muka Raja di dalam manora, kerana takut diusik hantu. Kerana sudah pukul 4 pagi kami pulang dari menonton, aku terpaksa tidur di rumah Ayah Awang, di atas loteng rumah kedainya yang tidak jauh dari rumah aku yang juga sebuah rumah kedia papan dua pintu zaman sebelum perang dunia kedua. Mungkin itulah kali pertama dan terakhir aku menonton Manora untuk masa yang lama sehinggalah di Kuala Lumpur pada tahun 1990an. Kemudian pada tahun 1998 aku sempat menonton himpunan seni persembahan Kelantan yang dikelolakan oleh Sutra Dance Theatre dan ditaja oleh Dato' Seri Effendi Nawawi di MATIC. Persembahan itu membawa aku kepada banyak persoalan tentang Menora dan Mak Yong, apalagi setelah Mak Yong, Manora, Wayang Kulit diharamkan di negeri Kelantan setelah PAS memenangi pilihanraya 1990. Persoalan2 dan pertanyaan tersebut telah membawa aku kepada sebuah buku "The Naga King's Daughter" oleh Stewart Wavel yang ditulis pada tahun 1965 setelah penjelejahannya bersama Kumpulan Oxford dan Cambridge pada tahun 1963 dan dinaungi oleh Tunku Abdul Rahman. Perjalanan tersebut bukan hanya membuka pemikiran tentang Menora, tetapi juga hubungannya dengan Langkasuka, Puteri Saadong, Main Peteri, Semangat Laut, Laut dan Angin serta Tasik Cini dan Orang Asli. Naga King's Daughter telah membuka perjalanan aku semasa bertugas di Bangkok (1998-2000).  Termasuklah bengkel seni untuk sekolah rendah yang aku kelolakan di Nakhorn Sri Thammarat di Bahagian Utara Selatan Siam, berdekatan dengan Suratthani(pengkalan ke Koh Samui). Banyak yang ditemui di Nakhorn Sri Thammarat, dari Nasi Kerabu, Tukang Mas Kelantan, Kerabat Kelantan dan dibawa ke Nakorn dalam perjalanan ke Bangkok untuk dijadikan buruh semasa Rama I, Ramkamheng, serta juga bertemu guru-guru Manora. Untuk hari penutuh kami mengambil keputusan untuk mengadakan sebuah persembahan Manora di mana 13 orang penari pelajar menarikan tarian Menora, dan hati aku begitu gembira kerana aku tahu tarian tersebut tidak akan hilang, walaupun ianya tidak lagi berada dinegeri Melayu, tetapi negeri yang dulunya adalah negeri Melayu Ligor dan sebelumnya Sri Dharmanagara, tempat yang dikatakan di mana ugama Buddha dikembangkan, kemudiannya ditawan oleh Siam Ayutthaya dan menukarkan namanya kepada Nakorn Sri Thammarat.

Monday, April 27, 2009

Menjejak Kota Salor

Semalam aku mendapat sms dari Dr.Norli, akitek yang buat conservation work tu, dia bertanyakan soal Kota Salor, tapi au tengah menonton filem, jadi tak dapatlah menjawabnya. Baru pagi tadi sempat sembang panjang sikit. Aku cuma bagi tahu kebetulan aku tengah menulis artickel Manora dan pertama aku menonton Manora masa kecil tu katanya dekat Kota Salor di Gertak Lembu. Gertak Lembu tu sebenarnya jambatan, ada anak sungai yang menghubungkan Sungai Kelantan tu dengan perairan untuk sawah, genious juga projek tu. Tapi kalau musim banjir disitulah air akan naik dulu. Jadi jalan ke Kota Bharu dan Pasir Mas pasti terputus. Masa aku sekolah rendah dulu ada terbaca sekumpulan ahli sejarah kelantan pergi mencari Kota Salor yang terletak dekat Gertak Lembu, selepas gertak tu ada Surau Haji Hamzah di sebelah kanan kalau dari Kota Bharu, masuk lorong hingga ke sungai. Di tepi sungai tu sebuah kawasan lapang yang jadi padang bola kampung, di situlah orang2 Siam bermain Manora di tahun 1960an. Mingkin ada kaitan dengan orang Siam di situ. Sekarang penempatan mereka dah berpindah ke kawasan Pendek, beberapa batu ke arah  Kota Bharu. Kata ayah aku masa perang Siam menyerang, Rasa Salor menyembunyikan harta dan emas2nya ke dalam telaga, mereka malah berkurung di dalam telah bawah tanah. Dulu ada majalah yang menceritakan soal ini, tapi lupa majalah apa, Dian yang dicetak di Kota Bharu rasanya di awal tahun 1970an. Mana nak cari tuh? Ada tak di perpustakaan negara atau arkib negara?

 Munkin kita perlu mula mencari sejarah Salor sedikit demi sedikit dan kita akan boleh merungkaikan misteri Kota Salor.

Kewujudan Sekolah Kebangsaan Salor berkait rapat dengan pembangunan Kedai Salor pada awal abad ke 20. Walaupun sistem pengajiaan pondok sudah wujud di kampong Salor, namun kesan kemajuan sosial dalam negeri menyedarkan masyarakat betapa perlunya pendidikan moden. Tiga orang penduduk tempatan yang prihatin telah mengambil keputusan menubuhkan satu institusi pendidikan moden. Mereka ialah Wan Muhammad b Wan Ahmad, Hamzah b Taib dan Salim Tok Mandor. Hasil kegigihan mereka serta sokongan penduduk kampong maka wujudlah Sekolah Salor pada tahun 1919. Sekolah yang pertama bertempat di bangunan Kedai  Salor lama iaitu dipinggir Sungai Kelantan.Sekolah ini merupakan sekolah rakyat dan guru mengajar secara sukarela.Guru yang pertama di sekolah ini ialah Wan Muhammad b. Wan Ahmad.Pada tahun 1923 bilangan kelas telah meningkat sehingga kelas 3.Jumlah murid lebih kurang 20 orang.Cikgu Wan Muhammad seorang sahaja yang mengajar ketiga-tiga kelas tersebut. Selepas berlaku Bah Air Merah tahun 1926, Sekolah Salor dipindah ke tapak kedua iaitu di Pengkalan Ujid kira-kira 2000 meter di sebelah hilir tapak pertama.Tapak berukuran 40 x 225 kaki ini adalah milik kerajaan yang sebelum ini adalah tapak Masjid Salor. Bangunan sekolah berukuran 20x30 kaki ini dibinasecara gotong-royong oleh orang kampung.Struktur bangunan terdiri dari tiang batang nibong,kayu bulat dinding buluh dan atap sagu.Terdapat sebanyak 3bilik darjah iaitu darjah 1-3. (Petikan dari www.maxis.communities.com.my/salor)

Ini plak ada perbualan tentang Tragedi Sejarah Salor dari www.dikirbarat.net
Tok Jogho Wau Bule:
rajo salor tu mati sekitar tahun 1880-1882 ko? Nok tanyo skit tahu dok asal usul yang menyebabkan rajo salor tu dibunuh dan betulkah di salor tu dulu terdapat kota dan sebuah istana rajo? Buleh perjelaskan ko?

Lloni Awak2:
Memae dulu salor ado seoghe rajo dan tingga di kota rajo. kito maso kechik-kechik penoh gie ssitu...masih ado kesan tapak kota dan parit sekelilingnya malah kubur kaum kerabat raja salor pun ado disitu dalam kota....tapi lloni tok tau lagumano ghupo doh...kalu kerajaoe peko ko sejaroh demotu jagolah..nok aghak ko ghakyak tok taso...

Tok Jogho:
asa ssiloh kisoh ialah pado maso sultae mulut meghoh dulu dio suko blago lembu...dan suatu hari semaso di hari belago lembu tu mulut meghoh denga perdano menterinya..gielah ko kota rajo salor untuk belago lembu. entah mache mano sebelum tu...ado soghae anok ghajo salor hok gilo iseng duk mengkewa-kewa keghih gi maghi-gi maghi kok depae ghajo mulut meghoh kalu bahaso istilah gak 'lalu kok atah muko lah'. Tuk perdano menteri telah menghalang dan menghoyak ko sultae bahwo perbuatae tu bahayo seolah-olah nok bunuh sultae. kemudiae sultae mulut meghohpun murkalah lalu balik ke kota baghu. Selepah pado tu atas perkisohae perdano menteri yg mengatakan lagi bahawo rajo salor nok bunuh dio. Mako sultae mulut meghoh pun ataalah aska nok gi hapus rajo salor dengan caro menyerang hendap. dipendekkae ceghito mako abihlah terbunuh sapo-sapo hok ado dalae kota tersebut termasuklah terbunuh samo seorang da'ie berketurunan Sayyid yang memang kebetulan tinggal sementara bersama dengan raja salor pada maso tu...

Tok Jogho:
begitulah perkisohaenya..tapi ghama oghe klate tok tahu terutama bukae oghe asal salor..kisoh ni mache ditutup supayo oghe tok tahu kejahatan mulut meghoh dan perdana menteri.

Awak2:
adokah berlaku sumpohae sewaktu da'ie hok keturune sayyid tu mati sewaktu dio dibunuh di koto salor tu....

Tok Jogho:
wallahu'alam ....sumer keno bunuh sapo nok bbaghi...

Ini plak perihal Silat Cekak di Kelantan(www.gedungsch.blogspot.com)
Usaha awal untuk menubuhkan Persatuan Seni Silat Cekak Ustaz Hanafi di Kelantan telah dibuat oleh Allahyarham Ustaz Hanafi bin Hj Ahmad iaitu pada tahun 1977 melalui satu demonstrasi Silat Cekak besar-besaran , bertempat di Padang Merdeka , Kota Bharu . Selepas 13tahun kunjungan beliau , pada Disember 1990, hasil gabungan pelajar institut pengajian tinggi (IPT), Silat Cekak telah mula bertapak di Pasar Mini Salor , Batu7 , Kampung Teluk Kandis , Salor , Kota Bharu , Kelantan . Pada 1 Januari 1991 , silat ini beribu pejabat di Lot 2094, Kg Masjid Kota , 15100 Kota Bharu , Kelantan dan Mesyuarat Agung Pertama diadakan pada 3 Februari 1991 . 

Tapi apakah hubungannya dengan silat plak? Mengikut naluri saya tentunya ada hubungan, dua masyarakat ini adalah merupakan anak cucu kepada kerajaan-kerajaan lama yang ada di Kota Salor dan Kota Jelasin, tapi saya belum tahun dengan jelas kota manakah yang lebih awal ujud dan hilang.

Dalam pada mencari-cari tentang sejarah Kota Salor. Timbul plak cerita tentang Sayyid Hussein ini.

Ini plak misteri mencari Sayyid Hussein Jamadil Kubra (www.forum.cari.com/)

WonBin:
Beliau adalah tokoh yang terpenting di Nusantara. Terlalu penting sehingga nama beliau DIPADAMKAN oleh British dan DIPADAMKAN DARIPADABUKU SEJARAH DI SEKOLAH.

1. Sayyid Hussein Jamadil Kubra dikatakan sebagai datuk kepada Wali Songo.

2. Adik beliau merupakan Adi Putera, Guru Hang Tuah.

3. Keturunan beliau ialah Sultan Brunei sekarang.

4. Keturunan beliau adalah Sultan Kelantan sekarang.

5. Beliau dikaitkan dengan pembinaan Masjid Kampung Laut.

6. Keturunan beliau di Kelantan memakai gelaran Tengku, Nik dan Wan.

7. Beliau ketua Wali 7.

8. Beliau menetap agak lama di Kelantan sebelum meneruskan misi dakwah bersama-sama Wali Songo di Jawa. Bukit Panau di Tanah Merah Kelantan merupakan tempat pertapaan beliau dan tempat Wali Songo berkumpul sebelum ke Jawa.

WonBin:
WALI 7

Saiyid Hussein Jamadil Kubra dari keturunan Saiyid al-Alawiyah (bertemu hingga kepada Saiyidina Hussein cucu Rasulullah s.a.w.) anak dari bekas seorang gabenor kepada Sultan Muhammad Tugluq (Kesultanan Delhi) yang kemudian berkuasa di wilayah Deccan (India Selatan); telah sampai di Kelantan kira-kira pada tahun 1349 Masihi besama adiknya Saiyid Thana'uddin atau Syekh Saman (anak murid kepada Ibnu Hajar). Sudah menjadi takdair bahawa keturunan Rasulallah dizalimi, ditindas, dibunuh dan merantau meninggalkan Kota Mekah untuk menyelamatkan diri masing-masing.

Sepanjang misi dakwahnya Saiyid Husein sempat mengawini tiga puteri keluarga Diraja Empayar Chermin (Kelantan Purba) yang sewaktu itu ibu kotanya bernama 'Jiddah' terletak 3 batu dari Bukit Panau. Kota tersebut telah terbenam ke dalam bumi dan ditenggelami oleh air, kini dikenali sebagai Danau Tok Uban. 

Anak sulong beliau, Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) merupakan pelopor dan ketua Wali Songo. Maulana Malik Ibrahim merupakan anak Saiyid Husein hasil perkahwinan dengan Puteri Linang Cahaya (adik kepada Cik Wan Kembang). Siapa sangka bahawa Wali Songo adalah anak buah (anak saudara) Cik Wan Kembang yang tersohor di Kelantan  itu.

Salah seorang anak beliau, dihantar untuk berdakwah ke Borneo dan diangkat menjadi Sultan di Brunei bergelar Sultan Berkat yang merupakan nenek moyang raja-raja Brunei sekarang. Inilah jawapan kepada Misteri kenapa Sultan Brunei telah membina sebuah masjid yang cantikdan besar di gigi tasik Danau Tok Uban, sedangkan tempat ini 'tersorok' dan orang kelantan sendiri ramai yang tidak tahu kewujudan tasik yangagak luas sayup mata memandang.

Shaik Thanauddin pula menetap di Bukit Panau (Tanah Merah, Kelantan) sebagai tempat pertapaannya yang mana di sinilah Laksamana Hang Tuah datang untuk berguru semasa usia awal remaja sekitar tahun 1400. Pada zaman dahulu kala, Bukit Panau merupakan landmark bagi pelaut antarabangsa kerana bentuknya yang unik seperti piramid itu dapat dilihat dari laut ketika berada di perairan Laut China Selatan. Pada zaman dahulu, Bukit Panau diakses melalui Sungai Kelantan yang cuma disebelahnya. Kapal-kapal mudah sahaja melalui Sungai Kelantan yang luas itu.  Inilah perkampungan Wali Songo dan tempat di mana mereka merancang dakwah di Tanah Jawa. jangan keliru, sebenarnya Bukit Panau ini bersebelahan sahaja dengan tasik Danau Tok Uban dan Masjid Sultan Brunei. Anjung Masjid Sultan Brunei di Tasik Danau Tok Uban di Pasir Mas Kelantan.

Semua informasi yang disampaikan oleh Wonbin ini agak menarik tetapi terlalu banyak informasi yang perlu dikaji selidik. Masalahnya data sejarah kita tak lengkap, hanyalah melalui cerita lisan. Kalau adapun penulisan seharusnya dalam tulisan jawi dan penulisannya tidak boleh sewenang-wenangnya diambil tanpa dikaji asal-usul naskah tersebut. Mungkin ini semua boleh terlerai jika diperincikan dan dibuat satu kajian perbandingan dengan sejarah di Jawa dan juga tulisan Arab dan China. Sudah tentulah sejarah2 sebegini tidak disimpan oleh pihak kolonial, kalau tidak pastinya sudah ditimbulkan oleh Mubin Sheppard dan Richard Winsteadt.

Selain Kota Salor, Kota Jelasin dan Puteri Saadong, aku juga terpanggil untuk mencari hubungan Puteri Saadong dengan kerajaan Perak. Negeri Perak sebenarnya telah wujud pada zaman pra sejarah lagi. Kota Tampan di Lenggong merupakan satu-satunya kawasan yang terbukti wujudnya Zaman Batu Lama di Tanah Melayu. Bertolak dari tarikh antara 4 ratus hingga 8 ribu tahun sebelum masihi, Negeri Perak telah mengalami evolusi dari masa ke masa. 
Kesan peninggalan sejarah zaman batu ini terbukti dengan jumpaan alat-alat batu dan fosif-fosil manusia dikenali dengan nama ‘Perak Man’.Negeri Perak merentasi Zaman Hoabinhian seterusnya Zaman Batu Baru dan Zaman Logam, yang dapat dibuktikan dengan jumpaan-jumpaan tertentu.Ini disusuli pula dengan zaman Hindu/Buddha yang dijangkakan berlaku serentak dengan lain-lain kawasan di Tanah Melayu.

Selepas zaman ini, alam persejarahan Negeri Perak telah maju setapak lagi dengan wujudnya kerajaan-kerajaan tempatan seperti Manjung di Daerah Dinding dan Beruas (wujud setelah Manjung luput). Begitu juga beberapa kerajaan lagi di Perak Tengah dan Ulu seperti Tun Saban dan Raja Reman(Reman ini asalnya adalah sebahagian daripada Kerajaan Pattani Besar sbelum ianya berpecah-pecah). Serentak dengan itu Islam mula bertapak kukuh di negeri ini.Titik sejarah Negeri Perak sebenarnya bermula dengan penabalan Sultan Muzaffar Syah l yang berketurunan dari Sultan Mahmud Syah Melaka pada tahun l528. Walaupun zaman Kesultanan Negeri Perak telah muncul tetapi kuasa-kuasa tempatan masih diakui berkuasa. Corak pemerintahan yang dijalankan adalah urutan dari sistem feudal di Melaka yang berdemokrasi.

Negeri Perak lebih dikenali setelah kekayaan buminya diketahui iaitu ekoran dari penemuan bijih timah di Larut pada tahun l848 oleh Long Jaafar. Di kelantan dan Pattani juga mempunyai keturunan raja-raja yang memakai gelaran yang sama sehingalah Raja Kelantan di zaman Kelantan moden Long Yunus. Pendekata ini tidak mustahil. Apalagi bila Pattani dikatakan terhubung dengan Perak dan kedah dan adanya Sunga Petani yang seharusnya dipanggil Sungai Pattani, merujuk kepada sejarah.

Kota Jelasin terletak kira-kira 4.8 kilometer dari Bandar Kota Bharu. Kota ini terkenal semasa di bawah pemerintahan Cik Siti Wan Kembang dari tahun 1548 sehingga 1580. Kota Jelasin dibuka pada tahun 1663 dan dibina dengan kayu-kayu tebal serta diukir dengan baiknya oleh tukang-tukang ukir yang masyhur. Kubu-kubu pertahanan dibina berhampiran dengan kota tersebut. Parit-parit digali dengan dalamnya serta timbunan tanah yang tebal dibuat sebagai benteng pertahanan. 
Semasa pemerintahan Puteri Saadong, kota ini bertambah maju dan kota ini dijadikan sebagai kubu pertahanan negeri Kelantan daripada serangan dan ancaman luar. Mengikut sejarah, Kota Jelasin pernah diserang oleh Raja Siam disebabkan iri hati dengan kemajuan Kota Jelasin. Akhirnya, Kota Jelasin binasa dan Puteri Saadong juga menghilangkan diri. Semenjak itu berita daripada Puteri Saadong tidak diketahui dan keadaan Kota Jelasin semakin kucar-kacir tanpa pemerintah.

 
 
Kini Kota Jelasin hanya dikenali dengan nama Kota sahaja. Kesan peninggalan kota lama itu hampir lenyap kerana kurang perhatian untuk memeliharanya dan kawasan sekitar kota tersebut kini ditumbuhi belukar.


RAJA ABDULLAH (1663-1671)

Makam Raja Abdullah yang terletak di Kampung Padang Halban, Kota Bharu. 
Raja Abdullah adalah suami kepada Puteri Saadong

Raja Abdullah adalah putera kepada Raja Bahar. Baginda telah dikahwinkan dengan sepupunya Puteri Saadong, Puteri kepada Raja Loyor oleh Paduka Cik Siti Wan Kembang. Perkahwinan ini adalah untuk mengelakkan angkara dari Raja Siam yang juga berhasrat untuk memperisterikan Puteri Saadong.

Selepas istiadat perkahwinan tersebut, Paduka Cik Siti Wan Kembang telah menabalkan Raja Abdullah menerajui Kota Tegayung. Perkahwinan ini juga secara tidak langsung telah menamatkan sejarah pemerintahan di Jembal. Kemudiannya Cik Siti Wan Kembang telah meninggalkan Kota Tegayung. Kota yang baru ini dinamakan Kota Jelasin (sekarang Kampung Kota, Kota Bharu). Kota Jelasin juga kemudiannya diserahkan kepada Raja Abdullah dan Puteri Saadong.

Pemerintahan Raja Abdullah dan Puteri Saadong tidak lagi berpusat di Jembal tetapi di Kota Jelasin. Besar kemungkinan kuasa pemerintahan Raja Abdullah ini meliputi kerajaan Jembal. Andaian ini berdasarkan kepada keadaan di Jembal yang tidak mempunyai pemerintah selepas kemangkatan Raja Loyor dalam tahun 1663.

Dalam tahun 1671 baginda Raja Abdullah telah mangkat. Baginda dikatakan mati ditikam oleh isteri baginda Tuan Puteri Saadong dengan penyucuk sanggul dalam satu pergaduhan di Kota Mahligai. Pergaduhan ini berpunca daripada sikap marah Tuan Puteri Saadong terhadap suaminya Raja Abdullah yang tidak setia terhadap janji.

Baginda Raja Abdullah telah dimakamkan di Padang Halban, dalam daerah Melor kira-kira 17 km dari bandar Kota Bharu.

BUKIT MARAK, PERINGAT, KOTA BHARU

Pemandangan di sekitar Bukit Marak :
Tempat ini dipercayai merupakan tempat istirehat lagenda Puteri Saadong. 
Di sebelah kirinya ialah Sekolah Menengah Bukit Marak..
Batu-batu timbul yang menarik terdapat di Bukit Marak
yang sering dikunjungi oleh pelawat-pelawat
dan ahli-ahli kaji sejarah.

Bukit Marak terletak kira-kira 20 km daripada bandar Kota Bharu. Menurut sejarah, Cik Siti Wan Kembang, pernah bersemayam di sini sewaktu Pengkalan Datu menjadi pelabuhan yang penting sekitar tahun 1605.

Bukit Marak juga menjadi tempat bersemayam Puteri Saadong selepas kemangkatan suaminya Raja Abdullah dalam tahun 1761M. Kota Mahligai yang menjadi pusat pemerintahan pada masa itu telah diserahkan kepada Raja Abdul Rahim yang ditabal menggantikan Raja Abdillah.

Semasa berada di Bukit Marak, Puteri Saadong amat disayangi oleh rakyat jelata kerana kemurahan hati baginda. Baginda sering menjadi tempat rakyat jelata meluahkan perasaan terhadap kezaliman yang dilakukan oleh Raja Abdul Rahim. Peristiwa ini membuat baginda sering berdukacita dan akhirnya menyebabkan baginda memencilkan diri ke Gunung Ayam.

Hingga kini kesan-kesan peninggalan Tuan Puteri Saadong di Bukit Marak masih lagi dapat dilihatnya. Antaranya kesan-kesan istana tempat baginda bersemayam dan bahagian bawahnya pula terdapat satu kawasan yang dipercayai tanah perkuburan pengikut-pengikut baginda.

Daripada maklumat yang didapati ternyata Kota Salor mempunyai dua cerita yang berbeza, satunya ia diserang oleh Siam dan satu lagi ianya diserang oleh Sultan Muhamad Mulut Merah, iaitu Sultan Muhamad II, bapa kepada Long Ghafar. Kedua-duanya merujuk kepada abad yang berbeza, mungkin juga kedua-dua peristiwa tersebut terjadi pada zaman yang berbeza, tetapi pada zaman Sultan Muhamad II Kota tersebut lenyap atau dilenyapkan kerana kekuasaannya serta usahanya menghapuskan raja-raja kecil yang ada diseluruh negeri.

(Brikut petikan dari: http://pkrjk.blogspot.com/2007/07/sejarah-kerabat-raja-jembal-kelantan.html)

JEMBAL DALAM LIPATAN SEJARAH

Pengenalan
•Negeri Kelantan terletak di pesisir Pantai Timur Semenanjung.
•Menjadi tumpuan pedagang berulang alik dari timur dan barat.
•Kedudukannya yang strategik, menyebabkan wujudnya kerajaan yang besar di situ yang
mengawal aliran perdagangan dan politiknya.
•Salah sebuah kerajaan yang masyhur di abad ke 17 dan 18 ialah Kerajaan Jembal.

Sejarah Awal Kelantan

•Sejarah awal Kelantan sukar dikesan.
•Ada pendapat mengatakan Kelantan sudah wujud diabad yang pertama lagi dengan panggilan ‘Medang Kemulan’.
•Dalam abad ke 5, Kelantan dikenali dengan nama’Kalatana’ atau ‘Tanah Kala’.
•Catatan Shen Yao (414 – 512) ada menyebut negeri ‘Ho-lo-tan’ atau ‘Kou-lo-tan’.


Kelantan Abad Ke 15

•Tahun 1411 Kelantan diperintah oleh Raja Kumar (Islam).
•Menjalinkan hubungan dengan negeri Cina.
•Sultan Iskandar memerintah sehingga tahun 1465.
•Tahun 1465 Sultan Mansur menggantikan ayahyandanya yang mangkat.
•Tahun 1477, Kelantan diserang oleh Melaka di bawah Sultan Mahmud Syah.
•Sultan Mahmud Syah akhirnya berkahwin dengan puteri Sultan Mansur.
•Tahun 1526 Raja Gombak menggantikan Sultan Mansur.

Kelahiran Cik Siti Wan Kembang

•Cucu Raja Gombak iaitu Raja Ahmad berkahwin dengan Cik Banun Puteri Sri Nara D’Raja iaitu
sepupu Raja Hussin.
•Baginda dikurniakan seorang puteri bernama Cik Wan Kembang.
•Sultan Ahmad mangkat ketika Cik Wan Kembang berusia 4 tahun.
•Raja Hussin dari Johor dilantik sebagi pemangku raja.

Kerajaan Cik Siti Wan Kembang

•Tahun 1610, Raja Hussin mangkat.
•Cik Wan Kembang ditabal menjadi raja.
•Pusat Pentadbiran di Gunung Cinta Wangsa, Ulu Kelantan.
•Kerajaan Cik Wan Kembang sangat masyhur.
•Ramai pedagang datang berniaga, termasuk dari Arab.
•Orang-orang Arab memanggil baginda dengan panggilan ‘Paduka Cik Siti’.
•Dari situ baginda lebih dikenali dengan nama ‘Cik Siti Wan Kembang’.

Asal-usul Kerajaan Jembal

•Kerajaan Jembal diasaskan oleh Raja Besar.
•Raja Besar dikatakan dari keturunan Raja Bersiung yang memerintah Kedah abad 14.
•Raja Besar dan pengikut-pengikutnya mencari tempat yang sesuai untuk dijadikan negeri.
•Baginda mendirikan sebuah kota di tepi sungai Babong, di Pulau Melaka.
•Di situ terdapat satu pokok ‘jambu jembal’ yang besar.
•Lalu baginda menamakan tempat itu ‘JEMBAL’.


Pertabalan Raja Sakti

•Tahun 1638, Raja Besar menabalkan Raja Sakti sebagai penggantinya.
•Raja Sakti dikurniakan 7 orang anak iaitu;
~ Raja Adiluddin (Raja Loyar)
~ Raja Bahar (Raja Udang)
~ Raja Omar (Raja Ekok)
~ Raja Sungai
~ Puteri Sayu Bari
~ Puteri Unang Melor
~ Puteri Cempaka Bongsu

Kelantan Di Bawah Raja Loyar

•Tahun 1649 Raja Loyar ditabalkan sebagai raja memerintah Jembal.
•Raja Bahar dilantik sebagai Bendahara.
•Raja Omar sebagai Raja Muda.
•Raja Sungai sebagai Temenggong.
•Raja Loyar sangat dikasihi oleh rakyatnya.
•Baginda dikatakan mempunyai sifat kesaktian dengan berdarah putih, tulang tunggal, bulu
roma songsang, lelangit hitam, lidah fasih dan air liur masin.

Hubungan Dengan Kerajaan Cik Siti Wan Kembang

•Di bawah Raja Loyar, kerajaan Jembal bertambah maju dan makmur.
•Hubungan dengan kerajaan Cik Siti Wan Kembang adalah baik.
•Raja Loyar mempunyai 2 orang cahaya mata, iaitu seorang putera (meninggal) dan seorang
puteri bernama Puteri Mariam.
•Puteri Mariam lebih dikenali sebagi Puteri Saadong.
•Cik Siti Wan Kembang telah mengambil Puteri Saadong sebagai anak angkat.
•Puteri Saadong dihadiahkan dua ekor anak kijang untuk dijadikan mainan.
•Hingga sekarang gambar 2 ekor kijang dijadikan lambang kebesaran Kerajaan Negeri Kelantan.

Perkahwinan Puteri Saadong dengan Raja Abdullah

•Puteri Saadong termasyhur dengan kecantikannya.
•Raja Prasat Thong dari Siam menghantar utusan untuk meminang Puteri Saadong.
•Namun pinangan itu ditolak.
•Puteri Saadong lalu dikahwinkan dengan sepupunya Raja Abdullah.
•Raja Abdullah telah mendirikan sebuah kota yang dinamakan ‘Kota Jelasin’ (Kg. Kota
sekarang).
•Cik Siti Wan Kembang, Raja Abdullah dan Puteri Saadong telah membuka penempatan baru di Kg. Chetok yang dikenali sebagi ‘Tanah Serendah Sekebun Bunga’.
•Di sini Cik Siti Wan Kembang gering, lalu dibawa ke Gunung Cinta Wangsa dan meninggal di
sana.
•Setelah itu seluruh Kelantan diperintah oleh Raja Loyar.

Peperangan Dengan Angkatan Siam

•Raja Siam marah di atas perkahwinan Puteri Saadong dengan Raja Abdullah.
•Baginda menghantar angkatan menyerang Kota Jelasin.
•Raja Abdullah berundur ke Melor dan membina ‘Kota Mahligai’ di sana.
•Angkatan Siam mara pula ke Melor.
•Kerana sayangkan nyawa rakyat, Puteri Saadong menyerah diri dan dibawa ke Ayudhiya.

Kemangkatan Raja Loyar

•Ketika Puteri Saadong berada di Siam, ayahanda Raja Loyar telah mangkat.
•Jenazah banginda dimakamkan di Jembal iaitu bersebelahan SMK Raja Sakti sekarang.
•Adinda baginda Raja Omar ditabal menjadi raja dengan gelaran Sultan Omar

Puteri Saadong Berangkat Pulang

•Setelah kembali dari Siam, Puteri Saadong mendapati ayahandanya telah mangkat.
•Puteri Saadong terus ke Kota Mahligai.
•Sepeninggalan Puteri Saadong, Raja Abdullah telah berkahwin dengan anak pembesar negeri.
•Satu pertengkaran telah berlaku.
•Raja Abdullah mangkat setelah tertikam penyucuk sanggul Puteri Saadong.
•Jenazah baginda dimakamkan di Kampung Padang Halban, dekat Melor.

Pemerintahan Raja Abdul Rahim

•Tahun 1671, Raja Abdul Rahim, adinda Raja Abdullah, dilantik memerintah di Kota Mahligai.
•Puteri Saadong berpindah ke Bukit Marak.
•Pemerintahan Raja Abdul Rahim sangat zalim.
•Ramai rakyat datang mengadu kepada Puteri Saadong.
•Tahun 1673, Puteri Saadong berpindah ke Gunung Ayam untuk mengasingkan diri.

Kemangkatan Raja Abdul Rahim

•Raja Omar dari Jembal menghantar anaknya Raja Kecil Sulong untuk menyelesaikan masalah
di Kota Mahligai.
•Salah seorang pengikut Raja Kecil Sulong berjaya menikam Raja Abdul Rahim di tepi Tasik
Lelayang Mandi.
•Baginda mangkat di situ.

Kegemilangan Kelantan Di Bawah Sultan Omar


•Kelantan amat maju di bawah Sultan Omar.
•Baginda dapat menyatukan Kelantan di bawah satu pentadbiran.
•Baginda membuat lawatan ke seluruh jajahan negeri.
•Membuka satu kawasan tanaman padi yang luas di Padang Jembal, Bachok.
•Mengadakan hubungan dengan negara luar seperti Pattani, China dan Jawa.
•Juga dengan negeri jiran seperti Terengganu.
•Baginda dikurniakan 5 orang putera puteri; Raja Kecil Sulong, Raja Pah, Raja Sakti III, Raja Ngah dan Raja Nah.

Kedatangan Anak Raja Pattani


•Tahun 1686, tiga orang anak Datu Pengkalan Tua, Raja Pattani datang mengadap Sultan Omar.
•Mereka ialah;
~ Tuan Sulong (Long Sulong)
~ Tuan Senik (Long Senik)
~ Tuan Besar (Long Bahar)
•Long Bahar dikahwinkan dengan anakanda baginda, Raja Pah.
•Yang lain dikahwinkan anak pembesar negeri.
•Sultan Omar membina Kota Senang yang kemudiannya diserah kepada Raja Pah dan suaminya.

Sultan Omar Mangkat


•Sultan Omar memerintah selama 46 tahun.
•Baginda mangkat pada tahun 1721
•Jenazah baginda dimakamkan berhampiran Kota Seneng.
•Sekarang dikenali sebagai Kg Senenag.
•Belindan makam baginda dipercayai didatangkan dari Negeri Cina.

Raja Kecil Sulong


•Sultan Omar diganti oleh anakanda baginda Raja Kecil Sulong.
•Raja Kecil Sulong membina sebuah kota yang dinamakan ‘Kota Teras’.
•Kota ini diperbuat daripada teras kayu tembesu.
•Baginda memerintah 5 tahun sahaja.
•Mangkat pada tahun 1725 dalam usia yang muda.

Peranan Raja Pah


•Putera Raja Kecil Sulong yang bernama Raja Abdul Rahman masih kecil.
•Raja Pah telah mempengaruhi pembesar negeri supaya suaminya Tuan Besar / Long Bahar dilantik menjadi Sultan.
•Dengan itu tertolaklah hak Raja Abdul Rahman.
•Long Bahar telah berpindah dari Kota Seneng ke Kota Jembal.
•Apabila Long Bahar mangkat, anakanda baginda Long Sulaiman dilantik memerintah Kelantan.
•Dari keturunan Long Sulaiman inilah datangnya salasilah kesultanan Kelantan hari ini.


Jembal Hari Ini

•Nama Jembal kekal sehingga tahun 1922 sahaja.
•Tempat itu telah berubah kepada nama Kedai Lalat dengan secara tidak dirancang.
•Pekan tersebut dikunjungi oleh ramai penjual dan pembeli dalam masa yang singkat sahaja (*seperti lalat).
•Kerana itu pekan ini dinamakan Kedai Lalat.
•Suasana itu kekal hingga ke hari ini.


Usaha Mempertabatkan Keturunan Jembal


•Keturunan Jembal tersebar di seluruh negeri Kelantan.
•Terdapat juga di Kedah, Perak, Pahang, Terengganu dan lain-lain negeri.
•Mereka memakai berbagai gelaran; Raja, Tengku, Ku, Tuan dan Nik.
•Ada juga yang mengugurkan gelaran nama itu.
•Tahun 1991, PKRJK ditubuhkan bagi mempertabatkan dan menyatukan semula anak cucu Raja Jembal.
•AJK membuat lawatan dan memberi penerangan di merata tempat dan ceruk rantau bagi merealisasikan usaha murni ini.
•PKRJK juga telah berjaya mengembalikan nama pekan kecil ini dan daerah sekitarnya kepada ‘KOTA JEMBAL’.

 
 


Sunday, April 26, 2009

KELANTAN ARTS EXHIBITION: BUMI ANGIN

BUMI ANGIN

Di mana bumi dipijak

Di situ langit dijunjung

Sejarah seni visual moden di Kelantan telah bermula sejak zaman sebelum Perang Dunia Kedua lagi, iaitu di zaman pemerintahan kolonial British Malaya. Selain pegawai-pegawai kolonial yang menggunakan lakaran, lukisan cat air, fotografi dan rakaman filem untuk merekodkan peristiwa-peristiwa yang berlaku pada ketika itu, terdapat juga para pengembara-pelukis yang menjelajah negeri-negeri di bawah British Malaya. Semasa Balai Seni Lukis Negara sedang mengumpulkan karya-karya awal Malaysia, nama-nama seperti Sir Frank Swettenham, George Giles dan William Samwell timbul bersama lakaran dan lukisan cat airnya di London. Di antara karya-karya tersebut terdapat sebuah lukisan cat air berjudul Sungai Pergau, Kelantan, bertarikh 1895 karya William Samwell yang menjadi perhatian. William Samwell mungkinnya salah seorang daripada pengembara-pelukis yang disebutkan. Karya-karya lukisan cat air William Samwell yang lainnya di dalam koleksi Balai Seni Lukis Negara termasuklah lukisan-lukisan landskap di Telubin, Singgora, Sau, Samui dan Legeh di daerah Selatan Siam, sebelum terpisahnya wilayah tersebut dari Negeri-Negeri Melayu di Semenanjung pada tahun 1909.

Terdapat beberapa orang pegawai kolonial yang begitu tertarik dengan kehidupan dan kesenian masyarakat tradisi Melayu Kelantan seperti Winsteadt, Sheppard dan Banks. Walaupun mereka-mereka ini bukanlah seniman, mereka adalah di antara pegawai kolonial yang giat meneliti, mendokumen dan menggalakkan penerusan tradisi kesenian Melayu di Kelantan. Kebanyakan karya seni yang terlihat di zaman itu, rata-rata memperlihatkan ketaksuban terhadap nilai estetika Inggeris abad ke lapan belas, yang lebih menjurus kepada landskap dan keindahan sebuah kedamaian dalam lukisan landskap cat air dan cat minyak.

Pendidikan seni lukis moden di kalangan orang-orang Melayu pula adalah sesuatu yang jarang ditemui. Apa yang menarik perhatian dari pemerhatian ini adalah penemuan pencetus utama dalam sejarah seni lukis moden Kelantan, iaitu Nik Mahmood Nik Idris atau dipanggil Cikgu Nik Mahmood yang timbul sebagai seorang pelukis dan pengajar seni lukis. Nik Mahmood Idris sudah mulai melukis sebelum Perang Dunia Kedua lagi, beliau seterusnya berjaya menyambung persekolahannya di Raffles College di Singapura. Sepulangnya beliau ke Kota Bharu, selepas Perang Dunia Kedua, beliau diberikan jawatan sebagai Nazir Sekolah.

Sebagai seorang yang berminat dengan seni lukis dan telah mendapat pendidikan seni lukis moden di Singapura, tercetus rasa tanggungjawab untuk mencurahkan bakti kepada anak bangsanya. Dengan ehsan beliau sendiri, beliau memulakan kursus seni lukis di Sekolah Melayu Padang Garong pada setiap hujung minggu untuk sesiapa yang berminat dalam seni lukis. Sekolah Melayu Padang Garong kemudiannya menjadi pusat pendidikan seni lukis pada musim cuti sekolah untuk guru-guru sekolah di Kelantan, sebelum kursus tersebut menjadi kursus wajib dan dipindahkan ke Maktab Perguruan Kota Bharu di Pengkalan Chepa dalam tahun 1970an. Ramai seniman-seniman Kelantan yang berguru dengan Nik Mahmood Nik Idris sebagai guru seni lukis mereka, termasuklah Nik Zainal Abidin, Khalil Ibrahim, Mokhtar Ishak, Yusuf Sulaiman, Ismail Mat Hussin, Wan Ismail Wan Jaafar dan Yusof Abdullah. Di antara lukisan-lukisan Allahyarham Nik Mahmood yang dapat dilihat termasuklah Gadis Desa (Cat Air, 1987,23.5 x 31.5cm) dan Gadis Peladang (Pastel, 1988, 39 x 30cm) di dalam himpunan Balai Seni Lukis Kelantan.

Salah seorang anak didiknya, Nik Zainal Abidin telah dianggap sebagai salah seorang seniman terawal di dalam seni moden abstrak di Malaysia. Beliau memperlihatkan bakat melukisnya di Sekolah Melayu Padang Garong, Kota Bharu Kelantan. Beliau kemudiannya menyambung persekolahan ke peringkat Sekolah Melayu Tinggi di Sekolah Cina Kota Bharu. Setelah tamat persekolahan beliau ditawarkan untuk bekerja sebagai artis di Muzium Negara oleh Tan Sri Mubin Sheppard, Pengarah Muzium Negara pada ketika itu. Hasil kerjatangan Nik Zainal Abidin terukir dalam lukisan mural Muzium Negara yang disiapkan pada tahun 1962. Apabila RTM ditubuhkan, beliau berpindah kerja ke Radio Televisyen Malaysia sebagai pelukis grafik di bawah kelolaan Mohd. Hoessein Enas (antara seniman awal Malaysia yang telah mengabadikan keindahan pemandangan di negeri Kelantan di dalam lukisannya  Gadis dan Tembakau, 1962).

Hakikatnya, pameran pertama beliau di Kota Bharu Kelantan pada tahun 1950 dan penghijrahannya ke Kuala Lumpur telah membuka jalan untuk memulakan kerjaya seninya serta membuka peluang untuk berkarya. Nik Zainal Abidin pernah menyertai Wednesday Art Group pada tahun 1955 dan menjadikan seniman-seniman terkenal Malaysia sebagai mentor beliau, antaranya termasuklah Chuah Thean Teng, Syed Ahmad Jamal dan Latif Mohidin. Sebagai seorang seniman yang banyak belajar melalui pengalaman, beliau menjadikan pengalaman kehidupannya di Kota Bharu Kelantan sebagai inspirasi untuk beliau berekspresi. Cerita Maharaja Wana dalam Wayang Kulit Kelantan, Mak Yong, Menora, Silat, Rebab, Rebana dan permainan tradisi serta seni tradisi Kelantan termasuk ukiran bangau pada perahu-perahu nelayan menjadi subjeknya di dalam berkarya. Nik Zainal Abidin juga begitu meminati seni lukis tradisi Bali dan mungkin sedikit sebanyak telah mempengaruhi falsafah seninya. Beliau dilihat sebagai seorang yang mempunyai jati diri yang tinggi kerana berani melihat ke dalam dirinya sendiri dan ke dalam budaya Melayunya tatkala ramai seniman moden dalam tahun-tahun 1950an dan 1960an hanya melihat ke barat sebagai petunjuk arah berkesenian. Beliau mula berpameran di Kuala Lumpur pada tahun 1953 sebelum menyertai pameran-pameran antarabangsa di India(1961), Saigon(1962), London(1963) dan Australia(1965). Beliau juga pernah memenangi pertandingan lukisan Joy of Living di Kuala Lumpur. Nik Zainal Abidin bersara dari RTM pada tahun 1987, namun beliau terus berkarya hingga ke akhir hayatnya pada tahun 1993.

Pendekata, pendidikan seni lukis yang dikembangkan di Sekolah Melayu Padang Garong untuk pelajar aliran Melayu menjadi pencetus utama di tahun 1950an dan berkembang ke sekolah lain di Kota Bharu termasuk Sekolah Cina Kota Bharu dan Sultan Ismail College. Pendidikan seni di peringkat sekolah menjadi terkenal kerana gurunya yang berbakat, mempunyai minat yang tinggi terhadap seni serta berdedikasi.

Kerajaan Bumi Merah

Di dalam sejarah China, Suishu ada menyebutkan tentang negeri yang bernama Chih Tu atau “Red Earth”(Bumi Merah) yang merujuk kepada negeri Kelantan. Pensejarah China pada tahun 607 masehi itu memerikan yang Chih Tu berada di sebuah lokasi di ulu Sungai Kelantan yang menghubungkannya dengan penghasilan emas di Ulu Kelantan dan Ulu Pahang. Chih Tu pernah mempunyai hubungan perdagangan dan diplomatik dengan negara China. Kawasan tengah Langkasuka ini hilang kepentingannya apablia Kiu Li (Kuantan) di selatan Langkasuka menjadi penting kerana hubungannya dengan Sungai Pahang. Keberadaan Kelantan di dalam kerajaan Langkasuka pula sukar untuk dipisahkan kerana posisi hubungannya dengan Pattani, di mana Pattani bukan hanya berdiri sebagai ibukota dan pelabuhan Langkasuka tetapi sekaligus sebuah negeri besar yang mempunyai lingua-franka yang sama dengan Kelantan, serta hubungan kekeluargaan di kalangan para pemerintahnya. Langkasuka juga dikatakan sebagai sebuah negeri yang bersujud kepada kekuatan kerajaan Funan, terletak di antara Cambodia dan Vietnam, di utara Teluk Siam sekitar abad pertama. Chih Tu, Pattani dan Kallah(Kedah) di dalam Langkasuka mempunyai fungsi yang tersendiri di dalam pemerintahan dan perdagangan yang berpandukan musim dan arah angin itu sehingga menarik perhatian kerajaan-kerajaan besar Asia Tenggara termasuk Sri Wijaya yang berpusat di Palembang, Sumatera dan Chaiya, Siam, Majapahit di Jawa Timur serta Kesultanan Melaka sendiri.

Kerajaan Bumi Merah juga mempunyai sejarah pendudukan awal di rantau ini dan Gua Cha di daerah Gua Musang, Kelantan adalah termasuk di dalam tapak penemuan pendudukan awal budaya Hoabinhian di utara Semenanjung Tanah Melayu, juga termasuk dalam himpunan tapak-tapak di Vietnam, Thailand, Myanmar dan Utara Sumatera, 13,000 tahun yang lalu. Tapak penemuan tersebut adalah meliputi lindungan batu kapur yang paling penting sekitar Malaysia. Dalam zaman Neolithik, iaitu 2000 sebelum masehi pula timbul artifak dan seramik di Gua Cha dan Gua Musang yang mempunyai kesan gabungan masyarakat Mon dari barat utara dan Khmer dari timur utara Siam (Thailand dibentuk pada tahun 1934) yang menghasilkan budaya Ban Kao Khok Phnom Di di tengah-tengah negara Thailand sekarang ini. Mungkin ini terjadi hasil daripada penghijrahan pertanian kaum austro-asiatik dan pelayaran kaum austronesian. Kerana itulah adanya lakaran lukisan perahu di dalam gua-gua yang menghubungkan pelayaran dan penghijrahan dalam kehidupan mereka.

Di dalam “Hikayat Kelantan” pula, sejarah negeri ini memerikan cerita-cerita perpindahan dan perebutan kuasa di kalangan anak-anak raja Kelantan yang menjadi Sultan Pattani serta sebaliknya. Bumi Kelantan yang sentiasa bergolak ini tidak lekang dari perang, termasuk perang saudara sekitar tahun 1890-1900. Sultan Pattani yang terakhir, Sultan Abdul Kadir telah melarikan diri mencari perlindungan daripada bapa mertuanya, Sultan Kelantan dengan pihak British sewaktu baginda diburu oleh Raja Siam dalam pemberontakan pemisahan Pattani dan wilayah-wilayah Selatan Siam dari negeri-negeri Melayu Semenanjung pada tahun 1909. Pendekata angin perubahan sentiasa bertiup di negeri pantai timur yang penuh dengan sejarah tradisi dan budaya ini.

Rakyat negeri Kelantan pula begitu berbangga dengan gelaran Negeri Cik Siti Wan Kembang kerana zaman kegemilangan pemerintahan baginda yang begitu memartabatkan nilai-nilai kesenian di dalam kehidupan kerana kecintaannya kepada seni mengukir, menenun, membatik, menyongket dan menghasilkan wadah-wadah Melayu untuk tatapan seluruh rakyat jelata serta pedagang. Negeri pesisir pantai Laut China Selatan ini juga terkenal di kalangan rakyatnya dengan sejarah dan lagenda Puteri Saadong dari abad ke tujuh belas dan kisah Tok Janggut (Haji Mat Hassan) dari awal abad ke dua puluh. Puteri Saadong yang terkenal dengan rupa-akal-budi, semangat kenegaraan dan kesetiaan terhadap suaminya, Raja Abdullah, menjadi inspirasi rakyat Kelantan. Kehilangan baginda puteri dari pandangan rakyat jelata untuk pertapaan dan pengabdian dirinya  menjadikan misteri kehidupannya sebuah cerita lagenda.  Sejarah perjuangan Tok Janggut pula menjadikan beliau sebagai seorang wira Melayu dalam menuntut kemerdekaan dari pihak British. Semangatnya menentang penjajahan minda dan budaya orang Melayu menjadikan beliau sebagai salah seorang nasionalis Melayu awal pada zamannya di awal tahun 1900. Pembunuhannya oleh pihak British dalam pemberontakan pada tahun 1915 tetap menjadi misteri kehilangannya. Kelantan kemudiannya diwar-warkan sebagai Serambi Mekah kerana pengembangan pengajaran Islam oleh guru agama terkenal, Tok Kenali (Haji Muhamad Yussuf). Inilah yang menjadikan Kelantan sebagai sebuah negeri yang banyak lagenda, mempunyai sejarah yang panjang, kaya dengan seni dan budaya serta ilmu agamanya. Keperibadian tokoh-tokoh telah mengabadikan simbolika yang kukuh, sekaligus menimbulkan pemikiran budaya yang dinamik.

Kelantan mula menjadi tumpuan para pengkaji sejarah, antropologi, politik, budaya dan seni, bermula dengan Skeat dan Anandale sekitar tahun 1890an, Jeanne Cuisinier dan Raymond Firths sekitar 1930an hinggalah kepada pengkaji barat yang lain termasuk William Malm, Amin Sweeney, David Wyatt, William Roff, Douglas Raybeck, Robert Winzeler, Clive Kessler, Richard Winsteadt dan Mubin Sheppard. Pengkaji tempatan yang berminat dengan Kelantan pada awalnya termasuklah pengkaji perintis dari Universiti Malaya seperti Ismail Hussein, Mohd Taib Othman, Nik Safiah Karim dan Kassim Ahmad. Manakala penulis rakyat Kelantan sendiri pula termasuklah Mohamad Nik Mohd Salleh, Ibrahim Nik Mahmood, Abdullah Al-Qari Haji Salleh, S.Othman Kelantan, Abdul Rahman Al-Ahmadi serta Abdullah Nakula.

Di dalam pengembaraan budaya Stewart Wavell yang tercatat dalam bukunya, Naga King’s Daughter (1963), banyak cerita tentang kehidupan masyarakat, misteri, seni dan budaya di Kelantan sekitar awal tahun 1960an dipaparkan. Kemerdekaan Malaysia pada tahun 1957, peristiwa ketegangan kaum pada 13 Mei 1969, Tahun Melawat Malaysia 1990 serta Pilihanraya Umum 1990 banyak membawa angin perubahan kepada negeri Kelantan, termasuklah perubahan budaya. Meskipun begitu, Kelantan tetap dengan gelaran Kota Bharu Kota Budaya, negeri yang penuh tradisi Melayu serta kuat mempertahankan martabat bangsanya di Malaysia sehingga digelar “Cradle of Malay Culture”. Pada tahun 2005 pula Kelantan telah memartabatkan Kota Bharu sebagai Kota Islam di Malaysia.

Kedudukan Kelantan yang dilihat sebagai terpisah dari permodenan dan jauh terpencil dari kesibukan kota metropolitan Kuala Lumpur, sering dijadikan penyebab kepada sebuah kehidupan tradisional yang konservatif. Walaupun Kelantan masih dipisahkan oleh kawasan perhutanan di sebelah barat dan selatan serta pesisir pantai Laut China Selatan di sebelah timur, negeri ini sudah dihubungi lebuhraya, jalan keretapi dan jalan udara. Musim tengkujuh yang membawa hujan pada setiap penghujung tahun terus meniupkan angin timur laut, manakala dua belas jenis angin yang meniup dalam tubuh manusia Kelantan, tetap menjadi misteri yang bermain dan membawakan simbolika dalam ceritera Dewa Muda.  Angin globalisasi pula semakin menghimpit, dan menjadikan Kelantan sebuah tembok kekuatan Bangsa Melayu.

Bumi Angin

Seni membatik dikatakan sudah bertapak di Mesir dan timur jauh sejak abad kelima lagi, pewarnaan batik indigo, kisaran beras dan abu pula sudah lahir di Yunan, Selatan China sejak beribu tahun lalu, tetapi pengembangannya di Asia Tenggara sering dikaitkan dengan pengaruh dari India ke Jawa, Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu. Di Malaysia, batik sering disinonimkan dengan negeri Terengganu dan Kelantan serta pengaruh Jawa, padahal sebelumnya sudah ada peninggalan arkeologi yang menjelujuri budaya Mon-Khmer dari timur dan barat tanah besar Asia Tenggara di utara Semenanjung Tanah Melayu. Kedua-dua budaya ini akhirnya mengarah kepada kerajaan pertama Asia Tenggara, Funan dan asal usul bangsa Melayu Nusantara, Yunan.

Batik menjadi sebuah medium yang penting di dalam pembentukan seni visual moden di Malaysia, apalagi selepas peristiwa 13 Mei 1969, dalam pencarian sebuah identiti Malaysia yang dijadikan wadah integrasi nasional. Khalil Ibrahim yang menamatkan pengajian seni visual modennya di Central Saint Martin di London (1960-1965) juga pernah menjadikan medium batik wadahnya dalam berkarya sejak tahun 1966 sehinggalah tahun 1980. Malah ramai juga pelukis bukan Melayu yang menjadikan batik sebagai medium integrasi nasional, melihat kembali budaya bangsa. Tradisi ini juga turut dijejaki oleh seniman Kelantan yang lain seperti Yusuf Abdullah, Mohd Asri Mat Yaman, M. Zakaria Daud, Ismail Kadir dan Ismail Mat Husin. Karya-karya seni tampak dalam bentuk batik diketengahkan melalui karya Yusuf Abdullah, Wayang Kulit (1988), Mohd Asri Mat Yaman, Ayam Berlaga (1989), M. Zakaria Daud, Senjakala (1989). Ismail Mat Husin adalah di antara seniman Kelantan yang terus meneruskan menghasilkan karya-karya seninya dalam bentuk batik, Suatu Petang(1991), Market Scene(1991), A Mak Yong Performance(1979) dan Pantai Timur- East Coast I. Rata-ratanya karya-karya ini banyak bermain dengan imej-imej negeri Kelantan yang mungkin melahirkan sebuah rasa nostalgia terhadap sebuah kehidupan tradisional masa silam. Pun begitu tidak dinafikan yang kehidupan yang bersifat sedemikian masih ditemui di daerah perkampungan. Karya batik Khalil Ibrahim dalam Untitled(1972) dan Kolaj(1991) pula lebih bersifat moden, berbeza dari karya-karya batik yang dihasilkan sebelumnya, yang berlegar sekitar figura wanita Kelantan, permainan serta landskap desa dan laut, kedua-dua karya-karya ini lebih abstrak sifatnya, menggunakan warna-warna pastel. Begitu juga dengan karya Zaharah Ahmad Osman, Inspirasi Malaysia (1988) yang juga bereksperimen dengan konsep kolaj di dalam karya batiknya.

Mungkin juga boleh kita katakan yang Tengku Zubaidah dari Kutang Kraf menjadi pemula di dalam membawa konsep abstrak dan kontemporari di dalam pembikinan karya batik di Malaysia di awal tahun 1980an, dan seterusnya menghasilkan seniman-seniman batik moden termasuk Allahyarham Yusof Fadhil.  Allahyarhamah Datin Seri Endon Mahmud pula kembali meniupkan harapan baru dalam penciptaan batik di Malaysia sekitar tahun 2000-2005. 

Kini batik mempunyai nilai dan posisi yang berbeza dalam seni tampak, seni reka dan seni kraf, ianya mempunyai garis halus yang memisah antara ketiganya. Seharusnya batik tidak lagi dilihat sebagai hasil kerja atau artifak budaya tetapi sebagai suatu teknik tradisi atau ethnoteknologi kita dalam seni tampak negara.

Karya-karya realisma yang berasaskan prinsip-prinsip naturalisma Eropah yang diperkenalkan dalam seni lukis moden dan dilahirkan melalui  karya-karya lanskap, alam benda dan potret dalam cat air dan cat minyak, ianya mendominasi pameran ini. Karya-karya lanskap yang dilihat sebagai bersifat romantis dan sentimental menjadi istimewa kerana gaya mereka mengamati alam disekeliling mereka. Mungkin karya-karya sebegini masih menjadi perhatian peminat seni lukis di Kelantan serta para pengunjung ke negeri monsun timur laut ini, atau prinsip naturalisma kolonial Inggeris masih bertahan di era pasca modenisma ini. Antara karya lanskap termasuklah karya Mokhtar Ishak, Pulang Membawa Hasil (2006) dan Khalil Ibrahim, Malaysian Scene (1959), Membanting Padi (1960), Pemandangan (1960) dan Seascape (1989), dua pelukis yang pernah berguru dengan Cikgu Nik Mahmood Idris. Kedua-dua pelukis merupakan ahli dalam Malaysian Watercolour Organisation (MWO) dan Angkatan Pelukis Semenanjung (APS). Karya-karya lain termasuklah Mazlan Mustapha, Rezeki (2007), Nik Mahmood Nik Mat, Kedinginan Pagi Kampung Nelayan Pengkalan Petah (2005), Anuar Latif, Perjudian Bangau Lelah di Kuala (1989), Nik Jaafar Nik Abd.Hamid, Rumah Rakit (1990), Nik Ridzuan Nik Yusuf, Tirai Senja (1983), Mohd Azran Omar, Buluh Kubu (1988), Zaidi Yusuf, Kampung Atas Paloh (2005), Sabzali Khan, Pantai (2006), Haji Mohd Zawawi, bekas majistrate yang menggambarkan pemandangan lereng bukit serta satu-satunya pelukis Tionghua, Lee Hock Chiu yang menampilkan lukisan cat minyak, Kerbau dan Padang (2002). Lukisan cat air karya Ismail Kadir, Kampung Atas Banggol (2006) merupakan suatu pernyataan tentang rumah kedai kayu sebelum perang dunia kedua yang bakal dirobohkan untuk pembinaan projek pembangunan. Karya sebegini seringkali dilihat sebagai suatu nostalgia pada masa silam, tetapi sekaligus boleh menjadi sebuah kenyataan terhadap pengekalan khazanah warisan bangsa.

Lukisan-lukisan berbentuk figura seperti karya-karya Ismail Bukhary, Puja Umur (1958) Nik Zainal Abidin, Puja Pantai (1958),  Seni Melayu (1959), Azman Daud, Main Gasing (1988), Zakaria  Abdullah, Bersilat (1981), Fatmawatie Zakaria, Silat (1989), Mohd Daud, Uji Suara (1988), Abdul Rasid Jaafar, Rebana Ubi (2007), Abdul Hayu Hasan, Mak Yong (1988) dan Wan Ramli Wan Ibrahim, Gasing-Lawan (1982) menjadi sesuatu yang menarik perhatian kerana pada umumnya, tumpuan seniman di peringkat nasional terhadap lukisan figura menjadi berkurangan semenjak pengaruh revolusi Iran dan gaya hidup Islam di Kuala Lumpur di sekitar tahun 1980an serta arus abstrak dalam seni tampak kontemporari. Mungkin di Kelantan, lukisan-lukisan ini dilihat sebagai rakaman budaya yang penting untuk sebuah pemuziuman, apalagi setelah seni persembahan Mak Yong, tarian dan permainan tidak digalakkan dan seterusnya diharamkan untuk dipersembahkan dikhalayak ramai sejak 1991.

Meskipun begitu, jarang juga seniman yang menampilkan karya-karya bersifat Islamik yang klasik dengan ciri-ciri tulisan khat dan kaligrafi, hanya ada beberapa buah karya sedemikan daripada Wan Zahari Wan Yusuf, Seni Khat (1982), Saleha Abdul Kadir, Seni Khat (1989) dan Muhammad Daud, Allah Muhammad (2007) yang bersifat sedemikian. Karya media campuran Kamarulzaman, Terbuka dan Tersimpan (1998) dilihat seperti karya yang berbentuk Islamik, diinspirasikan dari rekaan senibina kerajaan Mogul di India. Manakala karya abstrak ekpressionisma Aswad Ameir pula dilihat seperti karya moden yang terinspirasi dari tulisan kaligrafi. Aswad Ameir yang merupakan graduan seni halus dari Central Saint Martin di London, mendapat didikan aprentis seni dari seniman seni tampak tersohor negara, Latif Mohiddin, yang dipengaruhi tulisan karya-karya sufi seperti Rumi. Karya- karya Aswad dilihat seperti karya-karya figura yang diabstrakkan, kadangkala dapat digambarkan seperti lukisan kaligrafi moden.

Jika dilihat pada sejarah seni tradisi, Kelantan mempunyai banyak tradisi mengukir, dari kayu, perak dan emas kepada kertas untuk pembuatan wau, tetapi penciptaan arca masih kurang, dan hanya terdapat empat karya arca ditampilkan dalam pameran ini, karya Alias Yusuf, Chini I (1988) yang menggunakan tembaga, aluminium dan cat air, Romli Mahmud, Stool Series (2006) yang menggunakan kayu kayan yang dihasilkan di Kelantan seperti angsana dan cengal serta besi, Azman yang menampilkan karya yang menyerupai lingkaran tulisan kaligrafi yang diperbuat dari gabungan gelang-gelang besi yang dipotong dan diselaputi cat enamel, serta Samsu Mohamad yang menampilkan karya seramik, Gunung Rheng (2006) yang bersangkut dengan tempat kehilangan puteri lagenda Puteri Saadong sewaktu berundur diri dari tahtanya sebagai raja yang memerintah. Di sini jelas menampakkan yang pengarca Melayu moden sangat terpengaruh dengan falsafah seni arca dalam Islam. Manakala karya instalasi video Roslisham Ismail, I Believe (2005) menampilkan bentuk empat dimensi dalam naratif bercerita, yang sekaligus menampilkan karya di luar garis konvensional yang dipaparkan dalam pameran ini.

Karya-karya abstrak dalam pameran seni tampak Kelantan menampilkan karya-karya yang menarik untuk dibicarakan, bermula dari karya Nik Muhammad Nik Hassan, Carnival time Rio De Jenario (1987) yang agak terpengaruh dengan aliran kubisma dan ekspresionisma, walaupun agak lewat jika dilihat dari pengaruh aliran tersebut ke negara ini. Karya-karya goresan asid (etching) Marizan Mahmood, Untitled (1988) dan Rosiah Md.Nor, Tanpa Tajuk (1989) pula menjadi menarik kerana pencarian kepelbagaian bentuk, begitu juga dengan karya  Nor Hanem M. Noor, Landscape Series (1988) yang menampilkan teknik monotype print seolah-oleh mempunyai hubungan yang dekat dengan karya Azhan Fadzil Abd.Rahman, Untitled (2006) yang tampil seperti lakaran ekspresi di dinding-dinding gua masyarakat pra-sejarah. Mohd Irudee Husin, Lakaran Diri (2003) pula dilihat seperti terpengaruh dengan abstrak ekspresionisma, manakala Sahidi, Journey to Flora and Fauna (2006) memerhatikan flora dan fauna, melapiskan warna-warna alam. Jika dilihat, kebanyakan daripada karya-karya abstrak yang ditampilkan datangnya daripada graduan-graduan seni halus dari Institut Teknologi MARA.

Karya-karya Md Hafizullah Said, Between two Generation “Born to Fight” (2007) yang melihat kehidupan ayam jantan yang sering dilihat sebagai ayam laga, Siti Sapura Zahuri, Main Putri “Narative II” (2007) yang meneliti visual tentang sebuah kebudayaan main peteri di kalangan masyarakat desa terpencil, karya Azian Hashim, Junjung Warisan (2007) yang menjejak warisan Melayu tradisi seperti rumah berukir, batik sarong dan artifak Melayu serta Wan Mohd Zulkifle Wan Yaacob, Layang-layang Putus Tali (2007) yang melihat kehidupan manusia kini yang semakin renggang dengan budaya tradisinya, masih menghubungkan diri mereka dengan tradisi.

Sebenarnya ikon-ikon budaya Kelantan berada di mana-mana di dalam pameran ini, samada ianya sebuah karya karya lanskap, figura, arca atau batik. Walaupun begitu karya-karya yang dihasilkan oleh Yusuf Sulaiman, salah seorang murid Cikgu Nik Mahmood di Sekolah Melayu Padang Garong adalah di antara seniman seni tampak awal di Kelantan yang banyak menampilkan ikon budaya dan sejarah. Karya beliau Petalawati (1983) yang menampilkan perarakan kereta berhias Burung Petalawati sempena perkahwinan Di Raja Kelantan di awal 1900 begitu menonjol, seperti juga dengan pertandingan sabong ayam dalam Belaga Ayam (1981) sudah diharamkan kegiatannya di Kelantan sejak tahun 1970an. Begitu juga dengan imej-imej dan ikon-ikon budaya yang lain dalam lukisan-lukisan Inche Abdullah Kadir, Roda-roda kehidupan II (1990), Wan Alwi Wan Idris, Beca (2007), Zakaria Abdullah, Kepala Perahu (1990), Ismail Bukhary Abdullah, Wau 1-4, Marzuki Muhamad, Semangat Melayu (2006) dan Saiful Hazri, Siri Kereta Sewa (2005). Karya-karya Noor Mahnun Mohamed, Siren Song (2004) yang berlatarbelakangkan Pantai Dalam Rhu, Saleha Abdul Kadir, Penantian (1989), Seni Khat (1989), Rosiah Md.Nor, Tanpa Tajuk (1989), Nor Hanem M. Noor, Landscape Series (1988), Zaharah Ahmad Osman, Inspirasi Malaysia (1988) dan Siti Sapura Zahuri, Main Putri “Narative II” (2007) adalah di antara seniwati-seniwati seni tampak Kelantan yang ditemui. Walaupun tidak semua di antara mereka yang menampilkan wanita sebagai watak utama dalam naratif penciptaan mereka, hasil kerja mereka seringkali mengaitkannya dengan kegiatan wanita seperti tekstil, batik dan perniagaan. Kedua-dua karya Nur Mahanum Mohamed dan Saleha Abdul Kadir memaparkan wanita-wanita yang sedang mengadap laut, seolah-olah menantikan sesuatu perubahan yang akan berlaku. Pendekata subjek wanita ini seharusnya di bicarakan, apalagi apabilanya ianya  sering menjadi topik hangat di dalam perbincangan politik dan seni di Malaysia. Wanita di Kelantan bukan saja menjadi tunggak penting dalam persembahan Mak Yong, Main Peteri dan Asyik, tetapi juga dalam di dalam sejarah dan kehidupan masyarakatnya, seperti pemandangan di Pasar Siti Khadijah dan peranan mereka dalam dunia perniagaan.Suatu pemerhatian yang menarik di dalam seni tampak Kelantan adalah bentuk karya-karya moden yang ditampilkan oleh seniman-seniman seperti Nik Zainal Abidin, Semar and His Lover (1962), Khalil Ibrahim, Untitled (1972), Fauzan Omar, Layer Series (1982), Ahmad Shukri Mohamed, Cabinet IV (1994), Din Omar, Antara Dua Hidangan (1991) Romli Mahmud, Batik – Monumen Siri (1993) dan Roslisham Ismail, No Sharing Kingdom! (2007), yang menggunakan tampil menggunakan teknik kolaj dan lapisan di dalam membentuk rupa serta pemikiran di dalam karya mereka. 

Pendekata karya-karya yang ditampilkan di dalam Pameran Seni Tampak Kelantan ini meliputi pelbagai bentuk, rupa dan gaya berasaskan falsafah tradisi dan moden, sekaligus mempamerkan keterbukaan di dalam berkarya dan berekspresi tanpa batas usia, bangsa, ruang lingkup serta pendedahan dan pendidikan.