Wednesday, April 09, 2008

Tari atau Teater atau Performanse Art?

Akhirnya semuanya selesai. Pada malam pementasan, 28 April 2008, kita dihadirkan dengan warung-warung bergerak yang menyajikan nasi berisi sambal, seperti nasi lemak yang dimakan dengan tempe dan tauhu serta teh serta halia(jahe kata orang Indonesia). Pada sorenya kita sudah mengatur kerusi-kerusi tempat duduk penonton, kita pisah-pisahkan agar tidak semua penonton mendapat sajian yang sama dengan angle-angle yang berlainan. Persembahan dimulakan dengan tarian tradisional dari Kraton Jogja yang menampilkan empak penari yang manis-manis yang cantik sekali. his-story menyusul suasana yang tenang, seolah-olah memberikan suatu pertanyaan daripada kalangan penonton, mulanya dengan kehadiran tukang sapu yang menyapu daun-daun yang berguguran disekeliling pohon beringin bersejarah itu. Kemudian timbul pula dua orang lelaki seolah-olah berlatih tai chi dan silat dengan mengadap pohon beringin yang ditanam Sukarno itu, didepan pohon itu ada empat orang dara yang duduk di bangku kayu panjang sambil merenung daun-daun yang berguguran dari pohon yang kelihatan penuh rahasia itu. Di pohon beringin kecil di depan beringin besar, ada jejaka yang sedang berkontemplasi dan improvisasi dengan bangku, tanaih dan air dari paip. Empat gadis kemudiannya menarikan tarian serampang, tari yang telah diangkat Sukarno menjadi tarian tarian nasional Indonesia di zamannya. Tarian ini sesuai ditampilkan kerana menjawab persoalan-persoalan tentang cultural right tarian serampang yang dibentangkan oleh Dr.Julianti Parani (IKJ Jakarta), sedangkan tarian tersebut adalah milik orang melayu, di manapun mereka berada, Sumatera Indonesia, Singapura atau Johor Malaysia. Sekaligus His-story juga mengundang suatu pertanyaan lain seperti "apa hak orang Malaysia ingin mementaskan karya tentang pohon beringin yang ditanam oleh Sukarno, atau tentang Sukarno sendiri", sedangkan Sukarno sendiri di zaman hidup dan pemerintahannya menganjurkan kempen ganyang Malaysia pada tahun 1965 di mana terjadinya Konfrontasi Malaysia-Indonesia di Borneo Sarawak dan Sabah. Jadi apa adanya pertunjukan ini dikaryakan oleh seorang warganegara Malaysia. Persoalan-persoalan ini jugalah yang ditanya bertubu-tubi oleh wartawan dari Jakarta Post dan Metrotv. Mungkin keinginan tersebut dirasakan amat pelik. Sedangkan bagi saya sendiri, saya begitu tertarik dengan pidato-pidato Sukarno serta beberapa lagu ciptaan Guruh Sukarno, anaknya - Melati Putih, Bidadari Dari Timur dan Lambangsari! Lagu-lagu tersebut seperti menginterpretasikan sesuatu, Melati mewakili isteri-isteri awal Sukarno termasuk Fatmawati yang diceritakan menjahit kain merah putih untuk dijadikan bendera Indonesia sewaktu kemerdekaan, manakala lagu Bidadari Dari Timur pula adalah jelas lagu yang menggambarkan kehadiran Dewi Ratna Sari Sukarno yang berasal dari Jepun, malah setelah kematian Sukarno, Dewi hidup di dalam dunia gemerlapan di Paris, New York dan Tokyo, sekaligus menimbulkan sensasi apabila beliau melahirkan sebuah buku fotografi bogel di saat beliau menjejak umur 55 tahun. Di jepun sendiri Dewi masih menimbulkan sensasi sampai kini.Jadi cerita-ceritanya masih juga relevan. Fatmawati pula meninggal dunia di Kuala Lumpur, adalah ibu kepada Guruh dan Megawati (bekas Presiden Indonesia). Sebagai seorang komposer, lagu-lagu ciptaan Guruh terus diperbaharui dengan nyanyian penyanyi baru. Pendekata kisah hidup mereka masih relevan dan exist dalam masyarakat Indonesia. Semasa di Jogja saya sendiri sempat menyaksikan vdo klip Marcell menyanyikan lagu Candu Asmara yang dulunya dinyanyikan oleh Cici Faramida di tahun 1980an dan sewaktu bersiar-siar di kota Jogja, kita masih boleh melihat foto-foto hitam putih Sukarno serta isterinya dan anak-anak dijual di toko-toko frame.

Sebenarnya persembahan ini banyak dipengaruhi dengan apa yang berlaku semasa hadirnya saya di Jogja dan di Sanata Dharma, termasuk tukang sapu yang sibuk membersihkan halaman sewaktu kita sedang sibuk berlatih. Persembahan yang memakan waktu 2 jam audition + gerak bebas, 2 jam latihan teknikal untuk lampu dan bunyi serta 6 jam latihan dengan gerak, ruang dan ekspresi itu saya katakan sebagai sebuah proses atau work in progress atau boleh juga dikatakan sebagai sebuah Happening Art untuk acara workshop tari kontemporari Asia. Walaupun ianya agak janggal ditampilkan di tengah-tengah di antara dua bentuk persembahan tradisi yang kuat berakar umbi, persembahan 15 minit, His-story, tampil berbeza dan sekaligus sarat melahirkan pertanyaan. Malah ada yang bertanya, apakah ini sebuah tari atau teater atau performanse? Malah ada teman koreografer Jawa-Indonesia bertanya samada saya seorang direktor atau koreografer? Soalan yang mungkin sama dipertanyanya di Kuala Lumpur. Apalagi ianya berada di dalam sebuah lingkungan budaya yang kuat akar umbi tradisinya. Sememangnya saya tidak menampilkan tarian-tarian seperti kebiasaan, tetapi melahirkan gerak-gerak dramatik, sesekali menari mengikut rentak muzik dan bunyi, sesekali melawan arus muzik. Apalagi latarnya diselangselikan dengan pidato-pidato sukarno dan lagu-lagu Guruh Sukarno.

Dari awalpun, saya memilih 8 orang pelakon muda dan hanya dua darinya yang mempunyai pengalaman menari tari tradisi dan kontemporari. Malah ini yang membuatkan mereka boleh dan bebas berimprovisasi sewaktu latihan dan seterusnya melahirkan ekspresi-ekspresi yang jelas dan meyakinkan. Pun begitu mereka tidak banyak terdedah dengan gerak-gerak yang unisen atau uniform dan sama, maka persembahan ini mengambil suatu dissiplin dari tari dan sesekali ada cetusan-cetusan bebas yang memberikan kebebasan berekspresi secara sendiri, sememangnya suatu disiplin yang lahir dari performanse art serta latihan-latihan tarian butuh dari Jepun. Mungkin benar jika dikatakan yang saya sebenarnya sedang mencari suatu paksi yang menemukan tari-teater dan performanse art.